Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 Mei 2012

TEORI-TEORI KEBENARAN FILSAFAT


Filsafat dapat diartikan dengan (1) pengetahuan tentang hikmah, (2) pengetahuan tentang prinsip, (3) mencari kebenaran, (4) mencari dasar-dasar apa-apa yang di bahas . Pada pengertian nomor tiga yang menyatakan bahwa filsafat itu mencari kebenaran, maka dapat dikatakan bahwa setiap manusia tak lepas dari berfilsafat. Karena nasalah yang selalu menggeluti manusia sepanjang hidup adalah kebenaran.manusia tanpa mengenal letih, berusaha menjangkaunya. Keinginannya ini bisa ditemu, bila manusia mau menelusuri cerita-cerita kepercayaan (agama) maupun sejarah pemikiran (filsafat dan ilmu) manusia.
Keengganan anak nabi Nuh untuk ikut berperahu bersama ayahnya dan usahanya mencapai “tempat ketinggian” guna menyelamatkan diri dari banjir, menggambarkan akan keinginan mendapatkan kebenaran. Beralih-alihnya dugaan nabi Ibrahim tentang “Tuhan” (dari bintang, bulan, dan seterusnya) memperlihatkan juga akan usahanya mengejar kebenaran.
Dalam sejarah filsafat, hal semacam itu tidak sedikit terjadi. Perbedaan pendapat tentang apa yang asal dari segalanya, pernah di jaman Yunani. bahwa sumber segala sesuatu itu ialah air (menurut Thales), api (menurut Herakleitos), udara (menurut Anaximenes) adalah contoh dari perlombaan manusia menuju kebenaran. Pertentangan antara Rasionalisme dengan Empirisme tentang dasar “tahu” dapat dimasukan sebagai contoh pula
Kebenaran merupakan suatu hal yang menjadi landasan atau dasar kita untuk bertidak dan berpikir. Apakah kebenaran yang kita anggap benar itu merupakan sesuatu kebenaran hakiki ataupun suatu kebenaran relative, tetap saja kita memerlukan kebenaran dalam membaca kehidupan ini. Kebenaran merupakan kunci untuk bisa hidup dengan benar, baik, sesuai jalurnya. Oleh karena itu dalam kesempatan ini kami akan menjelaskan tentang teori-teori kebenaran. Dimana teori-teori tersebut merupakan teori-teori yang telah dikemukakan oleh para ahli filsafat terdahulu. Sehingga nantinya kita bisa mengetahui mana kebenaran hakiki dan mana kebenaran relatif untuk dapat mengutamakan kebenaran hakiki di banding dengan kebenaran relative.

Kebenaran adalah kenyataan adanya (being) yang menampakkan diri sampai masuk akal. Pengalaman tentang kebenaran itu dialami akal si pengenal dalam kesamaannya dengan kenyataan adanya yang menampakkan diri padanya. Karena kesamaaan itu memang dicari dan dikejar namun belum tercapai, maka menurut pengalaman manusia si pengenal, kebenaran itu tanpa hentinya mewujudkan diri sambil ditentukan dari luar, tanpa pernah mencapai kesamaan sempurna .
Benar” menyatakan kualitas, keadaan atau sifat benarnya sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa pengetahuan (pemikiran) atau pengalaman (perbuatan). Jadi benar adalah suatu pengertian abstrak : suatu pengertian yang pada dasarnya tak dapat ditangkap oleh indra insani, meskipun seandainya indra ini diberi kekuatan tak terbatas. Sebagai lazimnya setiap sifat, “benar” baru dipahami dengan baik bila dihubungkan dengan sesuatu yang disifatinya.
Akan tetapi “benar” bisa juga berarti : sesuatu yang benar itu sendiri. Jadi bukan sifatnya, tetapi barangnya. Mengenai pengertian “benar” ini, dalam Encyclopedia Americana, yang ditulis bersama oleh Bernard S. Cayne dengan beberapa orang ahli, dikemukakan dua pengertian benar sebagai berikut : “Truth is the quality of being true, and anything that is true is a truth.” Jadi menurut buku ini, benar mempunyai dua pengertian seperti yang tersebut diatas.
Adapun “kebenaran mutlak” pada pembahasan disini dimaksudkan sebagai “sesuatu yang benar itu sendiri” (pengertian kedua), sebagai pengertian konkrit. Jika kebenaran mutlak dimaksud sebagai pengertian abstrak, maka selamanya kebenaran ini tak akan dapat dicapai, karena ia hanya ada dalam pengrtian kata (formal) bukan dalam pengertian zat (material). Karena itu sebutan “kebenaran mutlak” dimaksud sebagai keadaan sebenarnya dari sesuatu : zat yang sebenarnya dari objek (ding an sich).
Bila orang mendengar kata “benar,” secepat kilat dalam pikiranya akan “salah” sebagai lawannya. Itu adalah hal yang wajar. Akan tetapi tidak selamanya lawan “benar” itu “salah”. Benar bisa berarti lain, yaitu ; lempang (lawan sesat) – baik (lawan jahat) – bagus (lawan jelek) – tepat (lawan keliru) dan seterusnya. Peraliahan pengertian benar kepada hal yang lain ini, bergantun kepada jenis nilai mana yang diberikan kepada sesuatu yang berpredikat “benar” .

Rumusan substansi tentang apa itu kebenaran ( truth ) terdapat banyak teori. MichelWilliams mengenalkan setidaknya 5 teori kebenaran, yaitu kohorensi, korespondensi, performotif, progmatik, dan proposisi, penulis menambahkan satu teori paradigmatic / konstruktif.
Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logikaAristotiles proposisi benar adalah bila sesuai dengan persaratan formal suatu proposisi. Dalam logika proposisi yang lain, proposisi yang benar tidak dilihat pada benar formalnya, melainkan dilihat pada benar materialnya.
Proposisi tidak lain adalah suatu pernyataan yang berisi banyak kompleks. Pernyataan itu merentang dari yang subjektif individual sampai yang objektif. Persyaratan kebenarannya suatu proposisi dapat kita dasarkan pada model logika Aristotiles yang mendasarkan pada syarat formal, yang deduktif sedangkan model logika tradisional kuno lainnya adalah logika matematik deduktif materiil kategorik dari Euclides. Disebut logika meteriil, karena kebenaran dibuktikan atas bukti materiil, konstruk proposisinya menggunakan berpikir sistematisasi deduktif, dengan aksioma dan theorem.
Berpikir benar korespondensial adalah berpikir tentang terbuktinya sesuatu itu. Korespondensi relefan dibuktikan adanya kejadian sejalan tau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan ( positifisme ), antara fakta dengan belief yang diyakini yang sifatnya spesifik ( phenomenology russell ).
sesuatu yang koherensi dengan sesuatu yang lain berarti ada kesesuaian atau keharmonisan dengan sesuatu yang memiliki hirarki lebih tinggi. Yang memiliki hirarki lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut dapat berupa skema, sistem, atau nilai koherensi tersebut mungkin saja tetap pada dataran sensual nasional, tetapi mungkin pula menjangkau dataran transenden.
konsep paradigmatik di kembangkan dari banyak ahli, antara lain Thomas Kuhn. Kuhn menampilkan konsep rekonstruksirasional. Kuhn mensinyalir bahwa kebanyakan ilmuan hanya menampilkan ilmu pada dataran mozaik saja, belum menjangkau dataran rekonstuksi rasional menjadi suatu paradigma suatu paradigma. Menurut kuhn paradigma tersebut ada beberapa hal, yaitu:
a) Meningkatkan kesesuaian antara observasi dengan paradigma,
b) Memperluas skopa paradigma menjadi mencakup penomena tambahan,
c) Menetapkan nilai universal konstan,
d) Merumusan hukum kuantitatif untuk menyempurnakan paradigma,
e) Menetapkan alternative cara menerapkan paradigma pada telaah baru.
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual, dan menyatukan segalanya dalam tampilan aktual, dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis, yang teoretik, maupun yang filosofis. Orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual yang disebut dengan benaran performatif. Tokoh penganut ini antara lain: Strawson ( 1950 ) dan Geach ( 1960 ). Sesuatu sebagai benar bila memang dapat diaktualkandalam tindakan.
Perintis teori ini adalah Charles S. Pierce yang di tambahkan lebih lanjut oleh pragmatis William James dan John Dewey. Yang benar adalah yang konket, yang individual, dan yang spesifik, demikian James, Dewey lebih lanjut menyatakan bahwa kebenaran merupakan korespondensi antara ide dengan fakta; dari arti korespondensi menurut Dewey adalah kegunaan praktis .

JohnS. Brubacher dalam bukunya “ modern phloophies of education ” (disadur oleh IKIP malang menjadi: pengantar filsafat pendidikan), mengemukakan empat teori tentang kebenaran:
Berpendapat bahwa kebenaran ialah hubungan antara subyek yang menyadari dengan objek yang dasari. Kebenaran sudah ada diluar diri manusia, yaitu dalam dunia ini. Manusia tinggal mencari dan menemukannya. Karena itu kebenaran lebih ditentukan oleh faktor eksternal, bukan internal.
Mengemukakan bahwa kebenaran ialah ketetapsamaan kesan antara subjek terhadap objek yang sama. Seberapa konsistensi antara tanggapan subjek yang satu dengan subjek yang lain, menentukan validitas darikebenaran yang ditangkap. Menurut teori ini, tidaklah cukup menjamin bahwa hubungan subjek – objek disebutkan kebenaran, meningkat watak setiap subjek yang selalu cendrung ke arah subjektivitas.
Menyatakan bahwa kebenaran ialah sesuatu yang praktis, yang “bekerja”. Kebenaran tidaklah “ada”, melainkan “terjadi” kebenaran adalah proses pemeriksaan terhadap ( benar tidaknya ) sesuatu dalam praktek pelaksanaan. Oleh Karena itu kebenaran tidak pernah sempurna – abadi, melainkan dalam proses berubah-ubah. Sesuatu disebut benar, hanya kapan berguna, mampu memecahkan problem yang ada.
Berpendirian bahwa kebenaran ialah kebenaran Ilahi = divine truth, kebenaran yang bersumber dari tuhan, kebenaran mana yang disampaikan melalui wahyu. Manusia bukan semata makhluk jasmani yang ditentukan oleh hukum alam dan kehidupan saja. Ia juga makhluk rohaniah sekaligus, pendukung nilai. Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia .

Dr. m.J. Langeveld dalam bukunya berjudul” Menuju ke Pemikiran Filsafat” mengemukakan bahwa kebenaran ialah hubungan antara pemikiran subyek dengan obyek yang dijurusi . Olehnya kemudian diuraikan beberapa teori yag menginterpretasikan “hubungan” itu:
a.Realisme Naïf (Naïve Realism) : hubungan itu ialah persesuaian antara pemikiran dan obyek.
b. Imanen (Immanent) : hubungan itu sebagai gambaran-gambaran jiwa yang terbentuk oleh pemikiran dengan, sedangkan subjek tidak mengetahui apa-apa tentang hubunganya dengan obyek yang sebenarnya.
c. Transenden (Trancendent) : hubungan itu ialah perhubungan erat antara gambaran pemikiran dengan “benda yang sebenarnya.”
d.Transcendental (Transecendental) : hubungan itu ialah persesuaian pemikiran dengan bentuk-bentuk transendental dan sekunder .

C. Macam-macam Kebenaran
Kebenaran bermacam-macam, tergantung dari sudut mana orang berpijak untuk membaginya.
Dipandang dari segi “perantara” untuk mendapatkannya, kebenaran dibagi dalam :
a. Kebenaran indrawi (empiris), yang ditemui dalam pengamatan pengalaman.
b. Kebenaran ilmiah ( rational), yang lewat konsepsi akal.
c. Kebenaran filosofis (reflective thinking), yang dicapai dengan perenungan (murni)
d. Kiebenaran religius ( supernatural), yang diterima melalui wahyu Ilahi.
Dilahat dari segi “kekuasaan” untuk menekan orang menerimanya, kebenaran dibagi dua :
a.Kebenaran Subyektif, yang hanya diterima oleh subyek pengamat sendiri.
b. Kebenaran obyektif, yang diakui tidak hanya oleh subyek pengamat, tatpi juga oleh subyek-subyek yang lain.
Dari segi “luas berlakunya” kebenaran dibagi menjadi:
a. Kebenaran individual, yang berlaku bagi perorangan.
b. Kebenaran universal, yang berlaku bagi semua orang.
Dari segi “kualitasnya”, kebenaran dibagi dalam :
a. Kebenaran dasar, yaitu kebenaran yang paling rendah (= minim).
b. Kebenaran nisbi, yaitu kebenaran yang satu atau beberapa tingkat diatas kebenaran dasar, namun belum sempurna (= relatif).
c. Kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang sempurna, yang sejati, yang hakiki (=absolut) .

Ada beberapa wujud kebenaran, dan wujud ini berbeda – beda tingkatannya. Perbedaan tingkat ini terutama ditentukan oleh potensi subjek yang menyadari atau menangkap kebenaran itu. Baik panca indra, maupun rasio, bahkan juga budinurani manusia adalah potensi subjek yang menangkap dan menghayati kebenaran itu. Berdasarkan scope potensi subjek itu tadi, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi:
1) Tingkat kebenaan indra adalah tingkat yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia. Indra adalah gerbang kesadaran manusia.
2) Tingakat ilmiah, pengalaman – pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah pula dengan rasio.
3) Tingkat filosofis, kedua tingkat di atas telah dilalui sebagai tahap pendahuluan. Rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam, mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
4) Tingkat religius , kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, dan dihayati dengan seluruh kepribadian, dengan integritas kepribadian, dengan iman dan kepercayaan.
Keempat tingkat kebenaran ini berbeda-beda wujud sifat dan kualitasnya. Bahkan juga proses dan cara terjadinya, di samping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud di sini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenaran itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indra. Demikian seterusnya, yaitu rasio, kebijaksanaan, dan budinurani atau consciencia yang superrasional.
Dari uraian tentang tingkat-tingkat kebenaran diatas tadi kita dapat simpulkan batasan kebenaran itu sebagai berikut :
• Bahwa kebenaran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek. Demikian pula tingkatan validitas kebenaran ditentukan oleh potensi subyek yang berperan didalam penghayatan atas sesuatu itu.
• Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subyek tentang sesuatu. Terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek, yaitu realita, peristiwa, nilai-nilai (norma, hukum) yang bersifat umum.
Ada pula yang bersumber dari dalam berupa ide-ide, konsepsi-konsepsi, kreasi tertentu.
• Bahwa kebenaran itu ada yang relatif, terbatas ; ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah (jasmaniah, indra). Ada yang berupa ide-ide yang merupakan pemahaman potensi suyek (mental, rasio, intelektual).
Ada pula kebenaran yang berwujud transcendetal, rohaniah, spritual yang di jangkau oleh potensi subyek(budinurani, consciencia, super rasional).

E. Penutup
Kebenaran pertama-tama berkedudukan dalam diri si pengenal. Kebenaran di beri batasan-batasan sebagai penyamaan akal dengan kenyataan, yang terjadi pada taraf inderawi maupun akal budi tanpa pernah sampai kesamaan sempurna yang dituju kebenaran dalam pengalaman manusia. Ilmu-ikmu empiris memegang peranannya dalam usaha memegang kesamaannya itu. Dalm bidang ilmu-ilmu itu sendiri pun kebenaran selalu bersifat sementara . Ilmu-ilmu pasti tidak langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran, tepatnya perjalanan ilmu-ilmu itu merupakan suati sumbangan agar pengetahuan diluar ilmu-ilmu itu makin lancar mendekati kebenaran.
Bahwa subtansi kebenaran adalah di dalam interaksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat Wujud kebenaran dutentukan potensi subyek yang menjangkaunya. Artinya fungsi-fungsi potensi subyek a priori tersedia sesuai dengan materi dan tingkat kebenaran yang ada di dalam alam semesta dan metafisis.

F. Daftar Pustaka



Jumat, 28 Oktober 2011

Rasionalisme

RASIONALISME


A.      Pendahuluan
Secara etimologis menurut Bagus (2002), rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism, dan menurut Edwards (1967) kata ini berakar dari bahasa Latin ratio yang berarti “akal”, Lacey (2000) menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegang bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.[1]
Dalam dictionary of philosophy, rasionalisme adalah,

A Method, or very brodly, a theory of philosophy, in which the criterion of truth is not sensory but intellectual and deductive. Usually associated with a attempt to introduce mathematical metods inti philoshophy, as in Descartes, Leibniz and Spinoza.[2]

            Menurut Ahmad Tafsir Rasionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas, dalam bidang filsafat rasionalisme lawan empirisme. Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Sedangkan rasionalisme dalam bidang filsafat, terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat bhwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang yang pasti adalah pemahaman kita tentang logika dan matematika[3].
            Ahmad Tafsir menambahkan sejarah rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas oleh sekali pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (Socrates, Plato, Aristoteles), dan juga bebeapa tokoh sesudah itu. Pada zaman modern filsafat biasanya imulai oleh filsafat Descartes. Kata modern disini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat pada abad pertengahan Kristen. Corak filsafat modern tersebut ialah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani kuno. Oleh karena itu, gerakan pemikiran Descartes sering juga disebut bercorak renaissance.Menurut Ali Maksum tokoh-tokoh Aliran ini adalah Rene Descartes (1596-1650), Nicholas Malerbranche (1638-1775), B. De Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1946-1716), Kristian Wolf (1679-1754), dan Blaise Pascal (1623-1662)[4].

B.       Rene Descartes (1596-1650)
            Rene Descartes lahir pada tahun 1596 di La Haye, sebuah tempat di Perancis bagian tengah. Dia didik di kalangan kaum Jesuit dari La Fleche. Pada tahun 1617 sampai dengan 1619 ia masuk ketentaraan Jerman[5],
Descartes di anggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Ahmad Tafsir Mengutip Bertrand Russel, anggapan itu memang benar. Kata ”Bapak” diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dialah orang pertama yang diakhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang  kuat, yang distinc, bukan iman, bukan ayat suci, bukan yang lainnya[6].
Descartes telah menemukan dasar (Basis) bagi filsafatnya. Bsis iu bukan filsafat Plato, bukan Filsafat Abad pertengahan, bukan agama atau yang lainnya. Fondasi iu adalah aku yang berpikir. Pemikiranku itulah yang pantas dijadikan dasar filsafat karena aku yang berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiranmu (cagito erga sum). Di sini kelihatanlah sifat subjektif, individualistis, humanis dalam filsafat Descartes. Sifat-sifat inilah, nantinya, yang mendorong perkembangan filsafat pada abad modern.
            Lebih jelas uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih (adequate) dari metode yang hendak dicanangkan nya dapat dijumpai dalam bagian kedua karyanya Anaximenes Discourrse on Methode yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut ini:
            Pertama, tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika saya tidak mengetahuinya secara jelas bahwa hal itu memang benar; artinya menghindari secara hati-hati penyimpulan terlalu cepat dan prasangka; dan tidak memasukkan apapun dalam pandangan kecuali apa yang tampil amat jelas dan gambling di dalam nalar, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.
            Kedua, memilah satu persatu kesulitan yang akan ditelaah menjadi bagian-bagian kecil sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk lebih memudahkan penyelesainnya.
            Ketiga, berpikir secara runtut, mulai dari obyek-obyek yang paling sederhana dan paling mudah dikenali, lau meningkat setahap demi setahap sampai kemasalah yang paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan obyek-obyek yang secara alamiah tidak berurutan.
            Terakhir, dimana-mana membuat perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang sedemikian menyeluruh sampai yakin tidak ada yang terlupakan[7].

C.      Nicolas Malerbranche (1638-1775)
            Tokoh ini berusaha mendamaikan filsafat baru yang dirintis Descartes dengantradisi pemikiran kristiani, khususnya pemikiran Agusttinus. Dalam masalah substansi ia mengikuti ajaran Descartes. Akan tetapi, untuk masalah hubungan dengan jiwa, ia mengikuti pemecahannya sendiri. Pendirinnya dalam bidang ini biasanya disebut okkasionalisme (occasion = kesempaan). Malerbranche mempertahankan secara tegas pendapatnya bahwa jiwa tidak dapat mempengaruh tbuh, demikian pula sebaliknya.tetapi pada kesempatan terjadinya perubahan dalam tubuh, tuhan menyebabkan perubahan yang sesuai dengannya dalam jiwa dan sebaliknya juga. Malerbranche beranggapan bahwa tuhan bekerja sebagai penyebab menurut hokum-hukum tetap yang telah ditentukan satu kali untuk selamanya.[8]

D.      B. De Spinoza (1632-1677)
            De Spinoza lahir di Amsterdam. Menurut Spinoza, hanya ada satu subtansi. Dan satu subtansi itu ini meliputi baik dunia maupun manusia. Itulah sebabnya pendirian Spinoza disebut panteisme, tuhan disamakan dengan segala sesuatu yang ada.

E.       G.W. Leibniz (1946-1716)
            Tokoh jerman ini menuliskan karya-karyanya dalam bahasa latin dan prancis, seorang ensiklopedian (orang yang mengetahui segala laipangan pengetahuan pada masanya). Menurut Leibniz, Subtansi itu jumlahnya tiada terhingga yang kemdian ia namakan semagai monade. Dalam suatu kalimat yang kemudian terkenal Leibniz mengatakan, “Monade-monade tidak mempunyai  jendela, tempat sesuatu bisa masuk atau keluar.”

F.       Kristian Wolf (1679-1754)
            Karena Leibniz tidak menciptakan sistem filosofis, maka Wolff menyadur filsafat Leibniz serta menyusunnya menjadi satu system. Disamping itu, dalam penyusunanya tersebut ia banyak menggunakan unsure skolastik. Karena wolff inilah rasionalisme di Jerman pada masanya merajalela disemua Universitas.
G.      Blaise Pascal (1623-1662)
            Tokoh ini dalam sejarah pemikiran Francis memiliki tempat sersendiri. Sekalipun ia sepakat dengan Descartes dalam mementingkan ilmu pasti, namun ia tidak setuju denga Descartes dalam meneriam ilmu pasti tersebut sebagai model atau contoh yang istemewa untuk metode filsafat. Filsafat Descartes menjadi rasionalisme,  justru karena ia berpendapat bahwa metode filsafat harus meniru metode ilmu asti. Berbeda dengan Descartes, Pascal memandang bahwa manusia selalu dianggap sebagai misteri yang tidak dapat diselami sampai dasarnya. Ada yang lebih penting dari rasio (rasion), yaitu hati (Coeur), demikian menurut pascal. Rasio hanya menghasilkan pengetahuan yang dingin, sedangkan hati memberikn peranan dimana cinta juga mempunyai peranan. Dengan rasio dapat mempelajari ilmu pasti dan ilmu alam., tetapi dengan hati dapat mencapai kebenaran-kebenaran yang lebih tingggi terutama tuhan. Dengan semboyannya yang membawa kemasyhurannya dapat dengan mudah mengingat dasar pemikiran filsafatnya, le Coeur Anaxemenes ses raisons que la rasison ne connait point,  yang diartikan dalam bahasa Inggris The heart has its reasons which the reasons does not understand (hati-hati memiliki rasionya sendiri yang tidak dapat dipahami oleh rasio itu sendiri).

H.      Analisis dan Kesimpulan
Teori rasionalisme yang di awali oleh Dercartes adalah perlawanan secara terang-terangan terhadap gereja. Tidak lah cukup mencari kebenaran dengan keyakinan. Sama seperti perlawanan pada fiusuf pada zaman yunani kuno.
Dari beberapa tokoh rasionalisme diatas, menurut pemakalah, tokoh rasionalisme yang murni mengunakan filsafat rasionalis hanya tiga tokoh yakni Rene Descartes, B. De Spinoza dan G.W. Leibniz, hal ini karena tokoh-tokoh yang lain masih ada yang keluar dari rasional.
Dari gambaran diatas Menurut pemakalah mengenai substasi alam semesta ini atau pencipta alam semesta, yakni bahwa pemaklah melihat kebanyakakan tokoh-tokoh memikirkan substansi alam semesta dengan menggunakan sudut pandang keadaan alam itu sendiri, seperti dengan sudut pandang ruang, waktu, begitu juga Descartes dengan sudut pandang rasio, sedang itu semua merupakan bagian dari alam semesta. Dan manusia tidak akan bisa berfilsafat tanpa latar belakang kemanusiaannya dengan akal dan jiwa. Dengan demikian manusia tidak akan pernah sampai pada tingkat kebenaran hakiki dalam mencari substanisi alam semsta ini dengan filsafat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Epping O.F.M., e,d, Filsafat Ensie, Bandung, Jemmars, 1983.

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2007.

Ali Maksum, Pengantar Filsafat:Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2008.

Dagobert D. Runes, Dictionary of Phylosophy, Totowa, New Jersey, Adams Littlefield & co, 1976.

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/196009011987032-DIAN_USDIYANA/Tugas_Akhir.pdf

Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat & Etika, Jakarta, Kencana, 2005.

Rene Descartes, Diskursu Metode, di terjemahkan dari Discourse on Method, penerjemeh: Ahmad  Faridhl Ma’ruf, Yogyakarta, IRCiSoD, 2003.


[1] http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/196009011987032-DIAN_USDIYANA/Tugas_Akhir.pdf

[2] Dagobert D. Runes, Dictionary of Phylosophy, (Totowa, New Jersey: Adams Littlefield & co, 1976), h. 263

[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007),cet. ke-15, h. 127

[4] Ali Maksum, Pengantar Filsafat:Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h.360

[5] A. Epping O.F.M., e,d, Filsafat Ensie, (Bandung: Jemmars, 1983),  h. 209

[6] A. Tafsir, op, cit., h. 128

[7] Rene Descartes, Diskursu Metode, di terjemahkan dari Discourse on Method, penerjemeh: Ahmad  Faridhl Ma’ruf, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h.38

[8] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat & Etika, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. ke-2, h. 102

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes