Sabtu, 01 Desember 2012

TEORI PROJECTING BACK JOSEPH SCHACHT DAN BANTAHAN PARA ULAMA ISLAM



A.    Pendahuluan
        Permasalahan otentifikasi sunnah Nabi yang merupakan sumber hukum umat Islam kedua setelah Al-Quran menjadi penelitian para cendikia muslim maupun cendikia non muslim.
        Dalam sejarahnya menurut Hasbi Ash-Shiddieqy penelitian otentifikasi sunnah Nabi ini dimulai pada abad ke 4 hijriah yakni dengan mentakhrij hadits, yang dilakukan oleh cendikia muslim yang beliau sebut sebagai “ ulama hadits mutakhkhirin”.
        Perkembangannya bukan saja cendikia muslim saja yang melakukan penelitian terhadap otentifikasi hadits, namun cendikia non muslim pun melakukan penelitian terhadap otentifikasi hadits. Diantara cendikia non muslim tersebut adalah Joseph Scacht dengan teori Projecting Back. Dalam meneliti hadits Nabawi, Joseph Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad (transaksi, silsilah keguruan)   dari pada aspek matan (materi hadits). Sementara kitab-kitab yang dipakai ajang penelitian adalah kitab al mutawaththa karya Imam Malik, kitab al Umm  dan kitab al Risalah karya Imam al syafi’i.
        Dimana menurut Ali Mustafa Yaqub dalam kata pengantarnya di buku terjemahan “On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence”, Joseph Scacht adalah seorang pakar hukum Islam, namun karya-karyanya tidak hanya berkaitan dengan permasalahan hukum Islam, namun juga pada beberapa disiplin ilmu pengetahuan lain seperti, kajian tentang manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqih Islam, kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqih Islam, kajian tentang sains dan filsafat, dan lain-lain. Selain itu perpustkaan-perpustkaan yang menyimpan manuskrip-manuskrip kuno di kota-kota seperti Kairo, Istambul, Fez dan Tunis menjadi daerah garapannya.  Dari keterangan Ali Mustafa Yaqub tersebut penulis melihat bahwa Joseph Scacht merupakan seorang cendikia non muslim yang memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu agama Islam yang sangat mendalam.
        Umat Islam memandang cendikia-cendikia non muslim yang meneliti permasalahan agama Islam sebagai seorang cendikia yang meneliti khazanah Islam secara tidak obyektif. Yakni penelitiannya bertujuan untuk menghacurkan Islam, sehingga penelitiannya akan menutup-nutupi kebenaran Islam, dan membongkar cecara panjang lebar tentang kekurangan Islam.
        Mengenai pandangan umat Islam tersebut yang dikaitkan dengan penelitian Joseph Scacht tentang otentifikasi sunnah Nabi ini, penulis berasumsi bahwa kita sebagai kesarjanaan Islam tidak seharusnya langsung menuduh karya Joseph Scaacht  tersebut sebagai penelitian yang tidak objektif, yang tidak sesuai prosedur penelitian, sebelum kita melihat dan mencek penelitiaanya. Hal ini sebagai mana dilakukan oleh cendikia-cendikia muslim yang lain seperti yang diakukan oleh M. M Azami.
        Apalagi kesimpulan penelitian Joseph Scacht tentang otentifikasi sunnah Nabi yang berkaitan dengan hukum Islam sangat mengejutkan ummat Islam. Menurutnya sunnah Nabi yang ada diakalangan umat Islam saat ini adalah merupakan buatan ulama Islam pada abad kedua hijriah yang diambil dari Sunnah Nabi yang sudah menjadi adat budaya dan kebiasaan umat Islam pada saat itu, sehingga ia berpendapat bahwa sunnah Nabi tersebut ukan berasal dari Nabi Muhammad SAW. Selain itu, ada juga cendekiawan muslim yang menerima teori Schacht. A.A Fyzee misalnya, seorang hakim muslim dalam jajaran Mahkamah Agung Negara Bagian Bombay India, dalam bukunya A Modern Approach to Islam ia menerima tesis-tesis Joseph Scacht tadi. Demikian  pula Fazlur Rahman, direktur Islamic Centre di Karachi yang kemudian pindah  ke Chicago, dalam bukunya Islam  ia menyanggah dasar-dasar pandangan Schacht mengenai terbentuknya aliran-aliran hukum Islam. Tetapi  ia menerima tesis pokok dari Schacht mengenai diedarkannya hadits dan mengenai Projecting Back.  Melihat begitu fenomenalnya penelitian Joseph Scacht ini, dan memiliki pengaruh dalam keilmuan Islam, sehingga menurut penulis pembahsan tentang hasil penelitian Joseph Scacht ini dengan sebutan teori Projecting Back sangat perlu untuk di bahas. Bagaimana teori Projecting Back? dan bagaimana tanggapan cendikia muslim?
        Sebelumnya penulis minta maaf sebesar-besarnya, dimana kedangkalan referensi penulis terhadap permasalahan ini. Karena penulis megambil referensinya tentang penelitian Joseph Scacht tersebut dari buku M. M Azami, bukan lansung dari bukunya Joseph Scacht (The Origins of Muhammadan Jurispruence dan An Introduction to Islamic Law) ataupun dari buku terjemahannya dalam bahasa Indonesia, karena penulis kesulitan untuk menemukann referensi tersebut. Namun demikian, mudah-mudahan pemaraan dan pemahaman Azami tersebut sama dengan apa yang disampaikan yang dimaksud dalam tulisan Joseph Scacht. Sehingga pembahasan ini benar-benar membahas penelitian dan teori Joseph Scath.
        Dalam pembahan makalah ini, pertama penulis akan membahas Biografi Joseph Scacht, kemudian pendapatnya tentang Sunnah Nabi dan pendapat ulama, dan terakhir tentang teori Projecting Back serta pendapat ulama Islam tentang teorinya.
       
B.    Joseph Scacht
Joseph Schacht ialah seorang sejarawan Hukum yang memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi ilmu pengetahuan, baik tentang perkembangan sejarah Hukum Islam atau tentang Sunnah Nabi, dua persoalan yang Fundamental tidak dapat di pisahkan satu sama lain. Pendekatannya mungkin dapat disimpulkan sebagai perluasan dari sikap skeptis Ignaz Goldziher terhadap pembentukan Hukum Islam dalam Hadits Nabi yang memiliki peranan.
Schacht lahir pada tanggal 15 maret 1902 di Ratibor Silesia, (dulu termasuk wilayah Jerman, tapi sekarang sudah termasuk wilayah Polandia, Raciborz), hanya menyeberangi perbatasan dari Cekoslowakia. Ia juga berasal dari Keluarga yang relatif agamis dan terdidik. Ayahnya Eduard Schacht adalah penganut Katolik Roma dan sebagai guru anak-anak bisu dan tuli. Pada Tahun 1945 ia menikah dengan Loise Isabel Dorothy dari ingris.
Studinya dimulai dengan belajar filologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Yang sangat menajubkan adalah ia meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berusia 21 tahun.
Joseph Scacth pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar di Universitas tersebut . Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian yakni pada tahun 1934 ia mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Kairo) di Kairo Mesir. Dan ia tinggal di Kairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar.
Saat perang dunia II terjadi, Schacht meninggalkan Kairo dan pindah ke Inggris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Propesor-Doktor, di Inggris ia justru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari universitas tersebut.
Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggris dan mengajar di Universitas laiden Negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di sini ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1969.
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis.  kajian tentang manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqih Islam, kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqih Islam, kajian tentang sains dan filsafat, dan lain-lain. Karya tulisnya yang paling fonumenal dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960.  Di dalam dua karyanya inilah Joseph Scacht menyampaikan hasil penelitiannya tentang Sunnah Nabi. Dimana keimpulannya bahwa sunnah Nabi bukan berasal dari Nabi Muhammad, melainkan dari ulama Islam abad ke dua Hijriah, terutama yang berkaitan dengan Hadits hukum.

C.    Pengertian Sunnah Menurut Joseph Scacht dan Pendapat Ulama Islam
        Menurut M. M Azami, Joseph Scacht mengatakan dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence bahwa teori fiqih Islam klasik memberikan definisi bahwa sunnah adalah ‘perbuatan-perbuatan Nabi SAW yang ideal’. M. M Azami menambahkan bahwa pengertian seperti ini juga dipakai oleh Imam Syafi’i. bagi Imam Syafi’I, ‘sunnah’  atau ‘sunnah Rasul’ adalah dua kata yang sinonim, tetapi arti sunnah yang tepat adalah contoh yang sudah berlalu dan tata cara hidup.  Menurut M. M Azami, karena terpengaruh penjelasan Goldziher dan Margoliauth tentang pengertian sunnah, maka Joseph Scacht berpendapat bahwa pengertian ‘sunnah’ dalam masyarakat awal-awal Islam adalah “tradisi yang hidup” dalam mazhab-mazhab fiqih klasik, yang berarti praktek atau kebiasaan “praktek yang disepakati secara umum” (amal, al-amr al-mujtama’alaih). 
        M. M Azami dalam buku terjemahannya “On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence” mengutip konsep sunnah Joseph Scacht dalam Introduction to Islamic Law, yakni:

Sunnah dalam konteks Islam pada awalnya lebih memiliki konotasi politis dari pada hukum. Sunnah merujuk pada kebijakan dan administrasi khalifah. Pertanyaannya apakah tindakan–tindakan administratif dari dua khalifah yang pertama, Abu bakar dan ‘Umar, dipandang sebagai preeden-preseden yang mengikat, muncul barangkali pada saat pengganti ‘Umar harus ditunjuk (23/644), dan ketidakpuasan terhadap kebijakan khalifah ketiga, Utsman, yang mengakibatkan pembunuhan pada (35/655), menjadi tuduhan bahwa, dia pada gilirannya, menyimpang dari kebijakan pendahulunya dan, secara implisit dari al-Qur’an. Dalam kaitan ini, tampak konsep “Sunnah Nabi” belum teridentifikasi dengan perangkat aturan positif yang manapun melainkan memberikan adanya doktrinal antara “Sunnah Abu Bakar dan Umar” dan al-Qur’an. Bukti paling otentik, untuk penggunaan istilah “Sunnah Nabi” adalah surat yang pernah dikirimkan oleh pimpinan Khawarij ‘Abdullah ibn ‘Ibad kepada khalifah Bani Umayyah ‘Abd al-Malik sekitar 76/695. Istilah yang sama dengan konotasi teologis, dan ditambah lagi dengan “contoh  para nenek moyang” yang ada dalam risalat yang sezaman yang dikirim oleh Hasan al-Basyri kepada khalifah yang sama. Hal ini diperkenalkan kedalam teori hukum Islam, barangkali menjelang akhir abad pertama, oleh para ulama Irak.
   
        M. M Azami menambahkan bahwa menurut Ali Hasan  Abd al-Qodir dalam bukunya “Nadhrat ‘Ammah fi Tharikh al-Fiqh al-Islam” sependapat dengan penafsiran di atas. Ia berkata, “semula ‘sunnah’ terdapat dikalangan bangsa arab dahulu dengan arti ‘jalan yang benar dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat’. Arti ini idak dibuat oleh kaum muslimin, tetapi sudah dikenal pada masa Jahiliyah. Tradisi-tradisi arab dan hal-hal yang sesuai dengan kebiasaan nenek moyang, oleh mereka disebut ‘sunnah’. Pengertian ini tetap di pakai dalam masa Islam di Madrasah-madrasah lama di hijaz dan Irak tanpa dimaksudkan dengan ‘sunnah Nabi saw’. Kemudian pada akhir abad kedua hijriah, pengertian ini dibatasi dibatasi hanya untuk sunnah Nabi saw’ saja, hal itu karena adanya metode Imam Syafi’I yang berbeda dengan Istilah sebelumnya.
        Dari pengertian sunnah menurut Joseph Scacht dan Ali Hasan Abd al-Qodir M. M Azami berpendapat bahwa pendapat 2 cendikia tersebut sama dengan pendapat Goldziher dan Margoliauth tentang sunnah.
        Secara umum sanggahan M. M Azami terhadap pemahaman sunnah diatas yang berbeda dengan cendikia-cendikia muslim abad pertengahan yakni sunah Nabi itu sudah ada sebelum abad ke 2 hijriah. Dimana argumen akan sudah adanya sunnah nabi sebelum abad 2 hijriah adalah semenjak masa Nabi Muhammad SAW ketika Allah memerintahkan umat Islam menaati Nabi SAW dan menjadikan hidup beliau sebagai tauladan .
        M. M Azami menambahkan bukti sunnah Nabi Sudah ada sebulan abad 2 hijriah yakni perkataan Ibn Umar “Manakah yang berhak diikuti sunnah Rasulullah atau sunnah Umar”. 
        Dari pemahaman penulis terhadap permasalah di atas, penulis berasumsi bahwa memang benar pendapat M. M zami bahwa sunnah Nabi yang berbeda dengan sunnah secara umum dikalangan umat Islam sebelum abad ke 2 Hijriah. Karena dengan pengkuan Nabi Muhammad sebagi Nabi yang merupakan hal baru pada saat itu dan kemudian bertambah banyaknya pengikutnya tentu akan mendapatkan perhatian umat Islam pada saat itu yang sangat tinggi. sehingga mengakibatkan sosok Nabi Muhammad menjadi perhatian khusus, apalagi ditambah dengan 2 ayat yang disampaikan oleh M. M Azami di atas.
        Namun disini, penulis masih belum menemukan bagaimana bertahannya  “Sunnah Nabi” yang berkaitan dengan hokum yang benar-benar disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW setelah Nabi Muhammad wafat samapai abad ke 2 Hijriah. Bila mana kita liat dari pendapat Joseph Scacht yang penulis kutip dari buku M. M Azami yakni: “Para Khalifah Rasyidun (632-661 M) adalah pemimpin-pemimpin politik untuk umat Islam. Tetapi tampaknya mereka tidak mengambil hukum dari sumber yang tinggi’,… tetapi mengambilnya dari perbuatan khalifah itu secara maksimal, karena para khalifah itu dianggap sebagai pembuat hukum untuk ummat”. “Para khalifah dahulu tidak mengangkat hakim, sedang para Khalifah Bani Umayah melakukan langkah penting, karena mereka mengangkat hakim-hakim Islam”.   
        Pendapat di atas memang sudah di sanggah oleh M. M Azami dengan penekannya terhadap suatu hal, yakni, “sumber legislasi dalam Negara konstitusional modern, konstitusi, menopang otoritas legislatif dan menetapkan tingkatan legislasinya. Dalam Islam otoritas legislatif sudah ditetapkan dari awal bukan oleh ahli hukum tapi oleh Allah SWT. Dapat dilihat otoritas legislatif tercantum dalam al-Qur’an. Disana telah ditujukan bahwa kepatuhan kepada Nabi SAW adalah perintah tuhan dan karenanya otoritas hukum Nabi SAW berasal dari wahyu Tuhan” .
        Namun disini penulis melihat bahwa ayat al-Qur’an yang digunakan oleh M. M Azami tersebut sebenarnya juga memberikan legilasi bagi Khalifah atau pemimpin untuk mengambil hukum sama seperti Nabi. Sehingga penulis berasumsi bahwa bisa saja ada perubahan arah pandang umat Islam dari Sunnah Nabi kepada Sunnah Khalifah (Qodhi). Dimana arah pandang yang penulis maksud disini adalah sunnah (ketentuan, kebiasaan, hukum) yang diikuti oleh umat Islam. Apalagi dengan keadaan umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Lebih maju dan dan permasalahan kehidupan lebih kompleks dibandingkan pada masa Nabi, sehingga menuntut Khalifah dan Qadhi untuk berijtihad.
        Dan cara berijtihad para sahabat dan tabi’in ini masih pemakalah pertanyakan. Karena ada penjelasan M. M Azami tentang tabiin yang berijtihad yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW. Yakni:

Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa kata sunnah kadang-kadang digunkan untuk arti sesuatau yang disimpulkan dari praktek atau kata-kata Nabi SAW., meskipun hal itu tidak dilakukan oleh Nabi SAW. Dalam kutipan 8, misalnya, Zuhri berkata bahwa jika seseorang shalat hanya satu raka’at dalam shalat Jum’at dengan Imam, bukan dua, karena ia mengikuti shalat terlambat, dia harus menambah satu rakaat lagi ketika Imam menyelesaikan shalatnya. Dia menambah bahwa ini adalah sunnah. Jelaslah bahwa Nabi SAW. Tidak pernah tertinggal satu rakaat shalat Jum’at, karena beliau selalu menjadi Imam. Zuhri menarik kesimpulan ajaran itu dari sabda Nabi Saw. Bahwa siapa saja yang shalat satu rakaat (dengan Imam dalam shalat jama’ah), pada dasarnya tidak kehilangan shalat jama’ah….

        Walaupun masalah kebijakan Khalifah atau Qodhi sudah di sanggah oleh M. M. Azami, namun menurut penulis argumen sanggahannya masih lemah. Karena secara garis besar sanggahannya hanya mengarah pada pernyataan tidak terlepasnya ijtihad khalifah dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi yaitu “bahwa khalifah tidak bebas untuk menyusun “apa yang dianggap sunnah”, sebaliknya, dia menyatakan secara eksplisit bahwa khalifah harus mengikuti apa yang telah ada dalam al-Qur’an dan sunnah nabi” , sedangkan yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana ijtihad atau ketentuan Khalifah tersebut dalam perkembangan tidak disalah sandarkan kepada Nabi Muhammad SAW? Jadi menurut penulis mengenai permasalahan ini perlu ada penelitian lebih lanjut.

D.    Teori Projecting Back Joseph Scacht dan Pendapat Ulama Islam
Sebelum membahas lebih jauh tentang teori Projecting Back, menurut penulis sebaiknya perlu penulis sampaikan pokok-pokok dari tesis Joseph Scacht yang telah di ringkas oleh M. M Azami, karena menurut penulis dengan memahami pokok-pokok ini akan mempermudah pembaca untuk memahami bagaimana konsep teori Projecting Back tersebut, adapun pokok-pokok tersebut adalah;

1.    Hukum berada di luar wilayah agama. Nabi SAW., tidak bermaksud membuat sistem yurisprudensi baru. Otoritas beliau bukan pada masalah hukum. Bagi orang-orang yang beriman beliau memperoleh otoritas dari kebenara pesan agama; orang-rang munafik mendukung beliau untuk alasan politik.
2.    Mazhab-mazhab fiqih klasik, yang masih banyak dikenal sampai saat ini, lahir pada decade-dekade awal abad kedua H. sunnah pada awalnya mereka pahami sebagai “ tradisi yang hidup” (al-‘amr al-mujtama’ ‘alaih), yaitu, praktek ideal masyarakat yang diungkapkan dalam doktrin madzhab fiqih yang telah lazim. Konsep awal mengenai Sunnah ini, yang tidak ada kaitannya dengan kata-kata dan tindakan Nabi SAW., membentuk basis teori hukum madzhab-madzhab tersebut.
3.    Madzhab-madzhab fiqih klasik ini melahirkan pihak oposisi, dengan semangat keagamaan, yang dengan bohong menghasilkan informasi terperinci mengenai Nabi SAW. Agar dapat dijadikan seebagai sumber otoritas pandangan-pandanganya dalam bidang hukum.
4.    Madzhab-madzhab fiqih klasik itu mencoba memberi perlawanan terhadap kelompok-kelompok tersebut, tapi ketika mereka tahu bahwa hadits-hadits yang dinyatakan berasal dari Nabi SAW. Kian lama kian berlaku pada konsep awal Sunnah, mereka menyimpulkan bahwa “hal terbaik yang dapat mereka dilakukan adalah mengurangi arti-arti hadits itu melalui interpretasi, dan menumbuhkan prilaku dan doktrin-doktrin mereka sendiri pada hadits-hadits yang dinyatakan dari Nabi SAW., lainnya” – yakni, mereka turut serta dalam penipuan.
5.    Alhasil, selama abad kedua dan ketiga H. para ulama menjadi terbiasa untuk memproyeksikan pernyataan-pernyataan mereka sendiri kepada ucapan Nabi SAW.
6.    Karenanya, hampir-hampir tidak ada hadits dari Nabi SAW. Yang dapat dianggap otentik.
7.    Sistem isnad (rantai periwayatan), yang digunakan untuk membuat otentik dokumen-dokumen hadits hadits itu, tidak memiliki sejarah. Sistem itu ditemukan oleh para ulama yang secara bohong menisbatkan doktrin-doktrin mereka sendiri kebelakang sampai pada sumber-sumber sebelumnya. Karenanya, sistem itu hanya bermanfaat sebagai sarana untuk mengetahui waktu pemalsuannya. 

Karena penulis merasa kebingungan dalam membuat sistematika dalam memaparkan konsep teori projecting Back dari buku-buku M. M Azami, sehingga dari pokok-pokok tersebut sajalah penulis bagi dua dan kemudian digunakan sebagai sitematika dalam membahas teori Projecting Back. Untuk poin pertama sampai poin keenam penulis gabung menjadi satu pembahasan yakni pembahasan tentang madzhab fiqih klasik, selanjutnya poin ketujuh membahas tentang isnad.
1.    Sunnah Nabi Dalam Madzhab Fiqih Klasik
        Dari poin satu sampai poin enam di atas, yang dimaksud madzhab fiqih klasik yang menjadi kajian Joseph Scact adalah madzhab fiqih klasik sebelum Imam Syafi’i yakni para tokoh hukum (Qhodhi) disetiap daerah, yakni madzhab Madinah dengan tokoh atau Qodhinya adalah Imam Malik, kemudian tokoh Suriah yakni Auza’i  dan yang terakhir tokoh Irak yakni yang disebut Joseph Scacth sebagai Madzhab Hanafi dengan tokohnya Abu Yusuf.
        Dari penelitianya ketiga kawasan madzhab fiqih klasik tersebut Joseph Scacth menyatakan bahwa di tiga kawasan tersebut sunnah merupakan “praktek” atau “tradisi yang hidup” bukan berbentuk Hadits. Dengan memberikan bukti, yakni:
a.    Madzhab fiqih klasik Madinah
        Joseph Scacht merujuk pada diskusi antara Syafi’I dengan Rabi’ dalam ikhtilaf Malik. Di situ ditegaskan bahwa ahli Madinah membuat sunnah melalui 2 kondisi:
1)    Sumber-sumber dikalangan sahabat memegang pendapat yang menyetujui ajaran yang dimaksud.
2)    Orang-orang tidak berselisih dalam hal itu
        Dalam diskusi ini, tidak ada rujukan pada Nabi sendiri sebagai sumber untuk membuat sunnah, poin ini yang menurut Joseph Scacht cukup signifikan. Kemudian dalam konteks pernyataan Rabi’ ini, dan dalam mendukung apa yang dianggap sebagai konsep sunnah ahli Madinah dan caranya untuk membuat sunnah Scacht mengutip kasus Syuf’ah. Argumen ini di tanggapi oleh M. M Azami dengan argumennya yakni teks tentang kasus syuf’ah benar-benar meruntuhkan pandangan scacht karena: 1) sumber-sumber yang disebut adalah Tabi’in bukan sahabat, 2) Ada aturan Nabi yang secara eksplisit tercakup yang telah tercatat dalam hal ini oleh para ulama Madinah dan bahkan disebutkan oleh Scacth. Selain itu M. M azami menambahkan bahwa dalam kasus ini Scacht terdapat kesalahan dalam kutipan, dari contoh argument beserta sanggahannya ini masih ada 5 lagi yang penulis tidak sampaikan.
        Contoh diatas mengenai sunnah adalah “praktek” maka selanjutnya akan penulis sampaikan pandangan Scacht yaitu tradisi yang hidup lebih otoritatif dari pada Sunnah Nabi, dalam hal ini Scact memberikan empat contoh, dimana dari empat poin tersebut hanya poin pertama yang penulis kutipkan argumennya, poin-poin tersebut yaitu:
1)     Praktek mendahului Hadits Nabi
        Sebgaimana mana dalam kata-katanya:

Bahwa “praktek” muncul lebih dahulu dan Hadits nabi dan Sahabat muncul belakangan, jelas dinyatakan dalam Mud.  Iv.28, di mana ibn Qosim memberikan justifikasi teoritis terhadap pandangan madzhab Madinah. Dia berkata: “ Hadits ini telah sampai kepada kita, dan jika disertai oleh praktek yang sampai kepada kita melalui orang–orang yang mendapatannya dari pendahulu mereka, maka hadits itu benar untuk diikuti. Tapi nyatanya hadits-hadits lain yang tidak disertai dengan praktek. [Di sini ibn Qosim memberi contoh-contoh hadits dari Nabi dan Sahabat] Tapi semuanya tidak menonjol dan mengakar [lam tasytadd wa lam taqwa], praktek itu berbeda, dan seluruh masyarakat dan Sahabat-sahabat sendiri mengamalkan aturan-aturan yang lain. Jadi hadits-hadits itu masih tetap tidak didiskreditkan dan tidak pula dipraktekkan [ghair mukadzdzab bih wa laa ma’mul bih], dan tindakan-tindakan diatur oleh hadits-hadits lain yang disertai praktek.
Hadits-hadits ini disampaikan dari Sahabat kepada Tabi’in dan dari mana saja setelah mereka, tanpa menolak atau meragukan lainnya yang sudah sampai dan yang sudah diriwayatkan. Tapi apa yang terelminasi dari praktek disingkirkan dan dianggap tidak otoritatif, dan hanya yang dikuatkan oleh praktek diikuti dan diakui. Sekarang aturan yang sudah mapan dan disertai praktek diungkapkan dalam sabda-sabda Nabi… dan kata-kata Ibn ‘Umar dengan nada yang sama..”
   
        Komentar Scacht mengenai kutipan ini adalah bahwa “madzhab Madinah mempertentangkan praktek dengan Hadits.” Dalam catatan kaki di halaman yang sama,  dia menambahkan, “ basa-basi mengenai hadits ini menunjukkan pengaruh yang telah mereka proleh pada masa ibn Qosim” dan “layak untuk diperhatikan bahwa ibn Qosim bersandar pada ‘praktek’ meskipun dia mungkin benar –benar telah merujuk kepada  hadits dari Nabi. Kesimpulan selanjutnya Scacht terhadap teks yang sama yaitu madzhab Madinah lebih memiih praktek dari pada hadits-hadits Nabi.  
2)     Praktek berlawanan dengan hadits Nabi
3)     Praktek yang memihak hadits diterima oleh madzhab Madinah
4)     Praktek secara keliru dinisbatkan kepada sumber-sumber sebelumnya untuk membuat perubahan    
b.    Madzhab fiqih klasik Suriah
        Dalam mendiskusikan konsep sunnah dalam madzhab suriah, Scacht berkata:
   
Auza’I mengetahui konsep “sunnah Nabi….” Tapi tidak mengidentifikasinya sebagai hadits resmi. Dia menganggap hadits informal tanpa isnad, mengenai cerita kehidupan Nabi cukup untuk membuat “Sunnah yang Valid”…dan pepatah hukum yang anonim cukup untuk menunjukkan eksistensi sunnah yang mundur sampai Nabi”

    Menanggapi Argumen ini M. M Azami menyampaikan bahwa jika yang ditulis Scacht itu dari Abu Yusuf, Scacth harus bisa membuktikan kalau tulisan Auza’I itu tidak dirubah oleh Abu Yusub, M. M Azami menambahkan bahwa mungnkin Auza’I merasakan suatu Sunnah tertentu begitu disepakati menjadi otentik sehingga verivikasi lebih jauh mengenai keaslian menjadi berlebihan. 
c.    Madzhab fiqih klasik Irak
    Dalam madzhab Irak, Scacht mengatakan bahwa “ahli Irak,dalam pandanganya mengenai Sunnah, tidak lagi merasa lebih perlu bersandar pada hadits-hadits dari Nabi dari pada ahli Madinah.

Dan Tr.III,  148… membuat madzhab Irak berkata : “kami melakukan ini atas pertimbangan sunnah [yakin mereka member pertimbangan mengenai penolakan terdakwa mengambil sumpah ketika menggugat tidak dapat memberikan bukti legal, dan mereka tidak menuntut sumpah penegasan dari penggugat seperti yang dilakukan madzhab Madinah}. Tidak ada penyebutan sumpah, atau penolakan untuk mengambilnya, dalam al-Qur’an, dan itu tidak termasuk dalam bukti dari saksi [yang terdapat dalam al-Qur’an. Inilah sunnah yang tidak ada dalam al-Qur’an, dan ini tidak termasuk dalam bukti saksi [yang terdapat dalam al-Qur’an, ii 282]. Kita pegang bahwa al-Qur’an menyuruh kita untuk memberi keputusan mengenai bukti dari saksi, baik dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, dan penolakan untuk mengambil sumpah tidak berada di bawah ini.

    Menurut M. M Azami kesimpulan dari seluruh kutipan ini adalah; ‘Poin pentingnya adalah bahwa madzhab irak menggunakan Sunnah sebagai argumen, bahkan ketika mereka tidak dapat menunjukkan Hadits yang relavan. M. M Azami menanggapi argumen ini dengan menyampaikan bahwa sunnah dikalangan umat Islam pada saat itu ada yang berbentuk fardhu dan sunah (lawan makruh), jadi shalat id adalah sunnah yang tidak wajib. Dan menurut M. M Azami menyakini sunnah salat id yang sudah mapan itu sudah ada sejak Nabi. Argumen M. M Azami dari pembahasan ini yang menurut penulis masih belum kuat. Karena tidak bisa hanya dengan menyampaikan bukti keyakinan.
    Dari penjelasan di atas dapat kita pahami penelitian Schacht bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al Sya’bi (w 110 H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadits-hadits itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al- Sya’bi. Ia berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para khalifah dahulu tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayah .
Kira-kira pada akhir abad pertama Hijriah (kurang lebih 715-720 M) pengangkatan qadhi itu ditujukan kepada orang-orang spesialis yang berasal dari kalangan yang taat beragama. Karena jumlah orang-orang spesialis ini kian bertambah, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok aliran fiqh klasik.  Hal ini terjadi pada dekade-dekade pertama abad kedua Hijriah.
Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada qadhi ini memberikan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Karenanya mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menisbahkan  kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang-orang Irak menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada Ibrahim al Nakha’i.
Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu tidak hanya menisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbatkan kepada tokoh yang memiliki otoritas lebih tinggi, misalnya Abdullah bin Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad Hadits menurut Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh dibelakang (Projecting Back) .
       Menurut Schacht, munculnya Aliran-Aliran Fiqh Klasik ini membawa konsekuensi logis, yaitu munculnya kelompok oposisi yang terdiri dari ahli ahli hadits. Pemikiran dasar Kelompok ahli-ahli hadits  ini adalah bahwa hadits-hadits yang berasal dari nabi SAW. harus dapat mengalahkan aturan-aturan yang dibuat oleh kelompok aliran-aliran Fiqh. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan ini, kelompok ahli-ahli hadits membuat penjelasn-penjelasan dan hadits-hadits, seraya mengatakan bahwa hal itu pernah dikerjakan atau diucapkan oleh Nabi SAW. Mereka juga mengatakan bahwa hal itu mereka terima secara lisan berdasarkan sanad yang bersambung dari para periwayat Hadits dapat dipercaya.
Kesimpulan dari teori Schacht ini adalah baik kelompok Aliran Fiqh Klasik maupun kelompok ahli-ahli hadits, keduanya sama-sama memalsu hadits. Karenanya Schacht mengatakan, “We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentik” (kita tidak akan dapat menemukan satu pun hadits Nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai hadits shahih).
    Secara umum penulis akan sampaikan tanggapan M. M Azami terhadap penelitian Joseph Scacth tersebut, yaitu:
a.    Inkonsistensi baik dalam teori maupun penggunaan materi, katanya Joseph Scacht hanya membatasi pada hadits-hadits hukum, namun ternyata ada juga membahas terhadap hadits-hadits ibadah. Menurut penulis hadits-hadits ibadah tersebut benar saja digunakan oleh Joseph Scacht, walaupun dalam hukum prakteknya bersifat sunnah (lawan makruh) karena itu juga termasuk hukum Islam yang berbentuk Ibadah.
b.    Asumsi-asumsi yang tak mendasar dan Metode riset yang tak ilmiah, yakni keganjilan asumsi bahwa apa saja yang sesuatu tidak ditemukan pada karya masa lalu, tetapi ditemukan pada masa berikutnya pasti telah dipalsukan pada masa peralihan dapat ditunjukkan dengan mengubah metode dari atas ke bawah, yakni, dengan menguji hadits-hadits yang ditemukan pada masa berikutnya. Pada bagian ini penulis masih belum memahami bagaimana sanggahan M. M Azami.
c.    Kesalahan-kesalahan fakta. Untuk pernyataan M. M Azami ini, penulis setuju dengan pendapatnya.
d.    Pengabaian terhadap realitas Politik dan geografis. Menurut Azami kesalahan Scacht adalah dia mengeneralisir bahwa ulama pada saat itu sepakat secara umum melakukan tipu daya secara missal. M. M Azami menambahkan tidak ada cara untuk membuktikan kepada orang-orang yang sinis bahwa para ulama’ bermaksud memalsukan catatan-catatan, kecuali dengan mengemukakan bahwa realitas politik dan geografis tidak memungkinkan terjadinya kolusi dalam sekala yang demikian luas.  Dari sanggahan M. M Azami ini, penulis beranggapan bahwa sanggahannya tidak mengena terhadap konsep yang di sampaikan oleh Joseph Scacth karena konsep tipu daya ulama secara umum tersebut sangat mengkin terjadi walaupun adanya realitas geografis dan politik. Walaupun geografisnya sangat luas, namun ikhtilaf dikalangan ulama fiqih klasik dan pertentangannya dengan ulama hadits memungkinkan untuk menguatkan pendapatnya sendiri. Karena menurut asumsi penulis ulama-ulama tersebut tentu sangat menyakini dengan apa yang dia terima dari orang sebelumnya kurang mencek atas kebenaran informasi tersebut. Sebagaimana pendapat ini disampaikan oleh Ibn Khaldum.  Walaupun yang disampaikan oleh ibnu Khaldum ini berkaitan dengan sejarah yang lebih lunak dari hadits, namun hal itu bisa kita lihat bagaimana perbedaan ulama dalam mencek kebenaran hadits pada masa Bukhari dan sebelumnya. Begitu juga apa yang di sampaikan oleh Kamaruddin Amin, kekuatan arguen M. M Azami itu kelihatannya tergantung pada apakah isnad dipalsukan atau tidak dan kapan. Mereka yang menganggap kemungkinan adanya pemalsuan menganggap argument M. M Azami sebagai argument yang tidak berujung.
e.    Kesalah pahaman terhadap metode kutipan ulama terdahulu, penulis sependapat dengan M. M Azami mengenai sanggahan ini.
f.    Pengujian terhadap contoh-contoh Scacht.   
2.    Sistem Isnad yang di Proyeksikan ke Belakang
Joseph Scacht mengemukakan teori baru tentang ‘sejarah pemalsuan sanad hadits”. Metode scacht tersebut adalah: kesimpulan-kesimpulan yang berkaitan dengan perkembangan sanad ini dapat memberikan gambaran kepada kita tentang masalah pemalsuan hadits yang beredar dari seorang ahli hadits yang kita sebut saja namanya N.N., atau dari jalur seseorang yang namanya sudah dikenal, kemudian umumnya hadits itu dijiblak oleh sesorang atau beberapa rawi. Bagian bawah dari suatu sanad adalah bagian yang otentik dimana dari situ kemudian sanad bercabang-cabang. Tetapi N.N. dibagian bawah tetap merupakan titik pindah bersama untuk jalur-jalur sanad (atau paling tidak untuk sebagian besar jalur-jalur sanad dengan meninggalkan sanad-sanad tambahan yang nantinya dapat dimasukkan).
Teori ini dinamakan dengan teori Common Link yang menurut H.A. Juynboll yang penulis kutip dari buku (Teori common Link G.H. Juynboll Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi) dialah orang pertama  yang mengembangkan fenomena ini. Namun menurut H.A. Juynboll Joseph Scacht masih gagal dalam mengamati frekuensi fenomena Common Link dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai.
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam enam poin:
1.    Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
2.    Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3.    Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4.    Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’i untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5.    Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
    Joseph Scacht menambahkan  ada sebuah contoh tentang seorang rawi yang yang menjadi titik temu bersama (rawi Musytarak), yaitu dalam kitab ‘Ikhtilaf al-Hadits karya al-Syafi’I, halaman 294. Hadits tersebut memiliki sanad sebagai berikut:


        ‘Amr bin abu ‘Amr adalah rawi yang menjadi titik temu bersama untuk semua sanad-sanad ini. Dan sulit rasanya dilihat dari tempatnya ‘Amr mondar mandir untuk bertemu dengan tuannya (al-Muttalib) dan orang yang tidak dikenal sehingga sanadnya disebut langsung. 
Adapun tanggapan M. M Azami yaitu menurutnya Joseph Scacht kurang teliti atau tidak memahami maksud Imam Syafi’I dalam kitabnya “Ikhtilaf al-Hadits” halaman 294. Sebab Imam Syafi-I membandingkan antara tiga orang murid ‘Amr yang meriwayatkan Hadits tersebut. dan setelah dibandingkan ternyata  ‘Abd al-‘Aziz teah melakukan kekeliruan, sebab ia menyebutkan bahwa seeorang dari suku Bani Salamah adalah guru ‘Amr bin Abu ‘Amr, sebagai ganti dari al-Muttalib. Karena Ibrahim lebih kuat periwayatannya dari pada ‘Abd al-‘Aziz, dan hal itu diperkuat pula oleh Sulaiman, maka yang betul adalah al-Muttalib, bukan seseorang dari suku bani Salamah.
Kini jelaslah, bahwa hanya ada satu sanad saja dimana ‘Amr bin Abu ‘Amr meriwayatkan Hadits tersebut dari al-Muttalib, yaitu dengan diagram sebagai berikut:

       

Oleh karena itu, menurut M. M Azami semua pandapat Scacht dan tuduhan-tuduhannya tidak benar sama sekali.    
E.    Kesimpulan
Dari pemaparan diatas penulis menyimpulkan bahwa dari teori Projecting Back yang dikembangkan oleh Joseph Scacht sebagian besar sudah terbantahkan, namun ada beberapa hala yang harus diteliti ulang mengenai beberapa permasalahan. Seperti sanggahan M. M Azami terhadap tidak memperhatikannya oleh Joseph Scacht terhadap kondisi geografis dan politik. 
DAFTAR PUSTAKA

Masrur, Ali, Teori Common Link G.H. Juynboll Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, Yogyakarta, LKiS Yogyakarta, 2007.

Amin, Khamaruddin, Menguji Kembali Kekuatan Metode Kritik Hadits, Jakarta, PT. Mizan Pubika, 2005.

Ash-Shiddiqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1974.
Azami, M. M, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasiya, penerjemah: Ali Musthafa Yaqub, Jakarta, PT. Pustaka Firdaus, 1994.

Azami, M. M, Menguji Keaslian Hadits-hadits Hukum; Sanggahan atas the Origins of Muhammadan Jurisprudence, Joseph Scacht, ditrejemahkan oleh Asrori Shodri dari judul asli, “On Schocht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2004.

 http://gotherectoverso.wordpress.com/2011/04/23/teori-projecting-back-joseph-schacht/ di akses pada tanggal 12 November 2011 pukul 10.49

http://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/02/joseph-schacht.htmlhttp://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/02/joseph-schacht.html di akses pada tanggal 12 November 2011 pukul 13.50

http://blog.uin-malang.ac.id/jafar/2011/05/28/hadits-dan-orientaisme/ di akses pada tanggal 12 November 2011 pukul 13.50

Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995.

Yatim,Badri, Histografi Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997.


.



TEORI PROJECTING BACK JOSEPH SCHACHTDAN BANTAHAN PARA ULAMA ISLAM

Makalah ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Study Hadits
Dosen Pembimbing:

Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag
Dr. Zeid bin Smeer, MA









Disusun oleh:

MUHAMMAD ZA’IM
NIM. 11770045


PASCASARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK  IBRAHIMPROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAMMALANG2011

9 komentar:

Dapur Redaksi mengatakan...

wow, makalahnya panjang bener, S2 nih mantap banar

Anonim mengatakan...

You need to take part in a contest for one of the greatest websites
on the net. I most certainly will highly recommend this blog!


Look at my weblog best kettlebell exercises

Anonim mengatakan...

Howdy this is kinda of off topic but I was wanting to know if blogs use WYSIWYG editors or if you have to manually code with HTML.

I'm starting a blog soon but have no coding skills so I wanted to get guidance from someone with experience. Any help would be greatly appreciated!

Also visit my web blog; metal wall art

Anonim mengatakan...

I do agree with all the ideas you've introduced for your post. They're very
convincing and can definitely work. Still, the posts are very
short for starters. Could you please extend them a little from
subsequent time? Thanks for the post.

My webpage ... kettlebell exercises with pictures []

Anonim mengatakan...

great points altogether, you just won a logo new reader. What might you suggest in regards
to your put up that you simply made a few
days ago? Any certain?

My page: wall art painting

Anonim mengatakan...

Hi everybody, here every one is sharing these kinds of knowledge, thus it's nice to read this web site, and I used to go to see this weblog all the time.

my homepage: Kettlebell exercises crossfit

Anonim mengatakan...

When someone writes an paragraph he/she keeps the plan of a user in his/her brain that
how a user can understand it. Therefore that's why this post is great.

Thanks!

My web page ... panoramic city prints

Anonim mengatakan...

Please let me know if you're looking for a writer for your site.
You have some really good posts and I think I would be
a good asset. If you ever want to take some of the load
off, I'd absolutely love to write some articles for your blog in exchange for a link back to mine.
Please send me an email if interested. Many thanks!

Feel free to surf to my web-site wall art finesse originals

Unknown mengatakan...

kagak bs di copy y?

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes